Belajar Pada Peminpin Yang Visioner
Dua Tahun lalu 2012 Majalah Tempo pernah menetapkan tujuh kepala daerah pilihan. Tapi, bukan
berarti pemimpin bagus dari 497 kota dan kabupaten di seluruh Republik hanya
tersisa tujuh tokoh ini. Pasti masih ada kepala daerah cakap yang luput dari
pantauan majalah Tempo, walaupun jumlah yang lurus sekaligus berprestasi sangat
terbatas.
Tujuh kepala daerah terpilih ini merupakan bagian dari stok
yang sedikit: pemimpin dengan sejumlah inovasi untuk membangun masyarakatnya
serta bebas dari korupsi--setidaknya sampai Tempo menurunkan laporan utama saat
itu
Era otonomi daerah sejak 1999, yang disempurnakan lima tahun
kemudian dengan pemilihan langsung kepala daerah, membawa berkah sekaligus
“musibah”. Berkah itu datang dari kedekatan “jarak” pemimpin dengan yang
dipimpin, yang membuat penanganan masalah rakyat lebih cepat.
Pembangunan daerah semestinya bisa semakin bergegas lantaran
pemimpin yang tumbuh dari masyarakatnya akan lebih gampang menggerakkan komunitas
itu. Tapi “musibah” juga datang, terutama di daerah dengan kelas menengah yang
belum bangkit. Sistem pengawasan yang lemah membuat korupsi tumbuh subur.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan 3 (tiga) tersangka menteri aktif, belum
lagi KPK mencatat 31 bupati dan wali
kota menjadi terpidana korupsi sejak 2004.
Artinya, korupsi masih merupakan masalah akut otonomi
daerah. Sangat jelas benang merah antara korupsi dan sejumlah indeks
keberhasilan pembangunan. Daerah dengan pemimpin korup umumnya tak berhasil
mencapai angka bagus pada berbagai indeks pembangunan, misalnya indeks
pembangunan manusia atau indeks kesejahteraan rakyat.
Perkecualian hubungan antara korupsi dan sejumlah indeks
tadi memang terjadi di satu-dua daerah yang benar-benar kaya sumber daya alam.
Kutai Kartanegara merupakan satu contoh. Walaupun pemimpinnya di masa lalu
sempat ditahan karena korupsi, berkat bahan tambang yang melimpah ruah, indeks
pembangunan manusia tetap tinggi. Di daerah dengan sumber daya alam terbatas,
atau sama sekali tak tersedia, korupsi segera akan terlihat dampaknya.
Kemampuan daerah membuat terobosan, yang tentu memerlukan dana tak sedikit,
akan sangat terbatas.
Yang menarik dari tujuh pemimpin pilihan ini, ada semacam
kesamaan pandangan bahwa korupsi akan membuat pemimpin berjarak dengan
masyarakatnya, dan akhirnya menyulitkan usaha menggalang dukungan rakyat. Para
kepala daerah ini berkeyakinan bahwa hanya pemimpin bersih yang sanggup merebut
hati rakyat untuk mendukung program kerja mereka.
Cerita Bupati Banjar Herman Sutrisno menjadi bukti. Pemimpin
sebuah kabupaten di Jawa Barat ini tidak pernah membeli dukungan rakyat. Bupati
yang juga dokter ini cukup bekerja keras memperbaiki tingkat kesehatan warga.
Imbalan yang ia peroleh luar biasa: 94 persen rakyat Banjar memenangkannya
untuk periode kedua.
Sikap antikorupsi saja tak cukup. Leadership kuat, yang
diwujudkan dengan berani, sangat diperlukan untuk menangani beribu masalah di
daerah. Sungguh beruntung, tujuh pemimpin pilihan ini mempunyai berbagai kelebihan.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, umpamanya, berani menolak pembangunan jalan
tol yang membelah Kota Surabaya. Risma berkukuh menaikkan tarif papan reklame
besar yang selama ini dianggapnya merusak keindahan kota, walaupun Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah mengancam mencopotnya.
Walikota Solo sukses merelokasi pedagang kaki lima dalam
jumlah ribuan orang, sesuatu yang sulit dilakukan oleh pemda lain, kecuali
menjadikan pedagang kaki lima itu sasaran penggusuran. Peluang besar yang
ditangkap oleh Jakowi sapaan akrab Joko Widodo membuktikan bahwa kewenangan
yang luas tidak identik dengan kesewenang-wenangan. Kesuksesan itu juga diikuti
dengan makin meningkatkanya PAD Kota Solo.
Lain lagi di Kabupaten Purbalingga, Bupati Triyono Budi
Sasongko, fokus pada pengentasan kemiskinan, dengan memugar 14.600 rumah tidak
layak huni. Dana stimulan yang hanya Rp. 2 Juta mampu diberdayakan dengan
mengundang partisipasi rakyat melalui swadaya, sehingga program ini sukses.
Ada contoh lain. Yusuf Wally, Bupati Keerom--sebuah
kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini--berani meminta
TNI mengurangi pasukan. Alasan Wally: ia tak ingin penduduk daerah rawan
konflik itu terus-menerus menderita trauma lantaran “dikepung” pasukan dalam
jumlah besar.
Kepemimpinan kuat ditunjukkan Wally ketika ia membuat
kemeriahan di kantornya pada 1 Desember lalu, bertepatan dengan peringatan
kemerdekaan Organisasi Papua Merdeka. Ia mendukung OPM? Tidak. Dia justru
berupaya mengalihkan perhatian rakyat Keerom agar tidak melulu berpikir soal
kemerdekaan OPM.
Leadership kuat, keberanian dalam mengimplementasikan
program, serta konsistensi, merupakan kunci sukses tujuh kepala daerah pilihan
ini. Tapi pemilihan langsung tak selalu menghasilkan pemimpin dengan kualitas
seperti pendahulunya.
Maka, tantangan terbesar bagi para leader itu akan datang
setelah mereka tak lagi menjabat. Tantangan itu adalah menjamin kelangsungan
program yang sudah berhasil memperbaiki wajah daerah, yang bisa dilakukan
umpamanya dengan membuat peraturan daerah yang kokoh. Mereka juga bisa
menghidupkan partisipasi masyarakat untuk menjaga keberlanjutan programnya.
Salah satu tujuan bernegara tentu hendak menggapai
kesejahteraan, begitu pula bagi daerah otonomi, kewenangan yang luas mesti
diikuti dengan makin meningkatkanya kesejahteraan rakyat. Bukan malah
sebaliknya.
Maka dari itu kepemimpinan yang kuat hati untuk
mensejahterakan rakyat hendaknya lahir dari pilihan langsung, sehingga kesan
selama ini bahwa lima tahun masa kepemimpnan daerah hanya berkutat melulu
sekedar rutinitas belaka. Tampa gebrakan inovasi dan kreasi yang berarti.
Karena itu, jika hanya sekedar melaksanakan APBD dengan meng’copypaste’ program
dan kegiatan tahun sebelumnya tentu saja anggaran daerah yang sangat terbatas
itu tidak akan banyak merubah wajah daerah.
Kasus hukum yang banyak menimpa kepala daerah memiriskan,
seharusnya jadi cermin bahwa dimasa depan daerah memerlukan pemimpin visioner,
tidak pemimpin instan yang berpikir pendek. Pemimpin yang bersungguh-sungguh
mengeluarkan rakyat dari kubangan kemiskinan, bukan pemimpin yang malah makin
memiskin rakyat dengan perilaku yang menyimpang.