Jumat, 05 September 2014

Belajar Pada Peminpin Yang Visioner

Belajar Pada Peminpin Yang Visioner

Dua Tahun lalu 2012 Majalah Tempo pernah menetapkan  tujuh kepala daerah pilihan. Tapi, bukan berarti pemimpin bagus dari 497 kota dan kabupaten di seluruh Republik hanya tersisa tujuh tokoh ini. Pasti masih ada kepala daerah cakap yang luput dari pantauan majalah Tempo, walaupun jumlah yang lurus sekaligus berprestasi sangat terbatas.
Tujuh kepala daerah terpilih ini merupakan bagian dari stok yang sedikit: pemimpin dengan sejumlah inovasi untuk membangun masyarakatnya serta bebas dari korupsi--setidaknya sampai Tempo menurunkan laporan utama saat itu
Era otonomi daerah sejak 1999, yang disempurnakan lima tahun kemudian dengan pemilihan langsung kepala daerah, membawa berkah sekaligus “musibah”. Berkah itu datang dari kedekatan “jarak” pemimpin dengan yang dipimpin, yang membuat penanganan masalah rakyat lebih cepat.
Pembangunan daerah semestinya bisa semakin bergegas lantaran pemimpin yang tumbuh dari masyarakatnya akan lebih gampang menggerakkan komunitas itu. Tapi “musibah” juga datang, terutama di daerah dengan kelas menengah yang belum bangkit. Sistem pengawasan yang lemah membuat korupsi tumbuh subur. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan 3 (tiga) tersangka menteri aktif, belum lagi  KPK mencatat 31 bupati dan wali kota menjadi terpidana korupsi sejak 2004.
Artinya, korupsi masih merupakan masalah akut otonomi daerah. Sangat jelas benang merah antara korupsi dan sejumlah indeks keberhasilan pembangunan. Daerah dengan pemimpin korup umumnya tak berhasil mencapai angka bagus pada berbagai indeks pembangunan, misalnya indeks pembangunan manusia atau indeks kesejahteraan rakyat.
Perkecualian hubungan antara korupsi dan sejumlah indeks tadi memang terjadi di satu-dua daerah yang benar-benar kaya sumber daya alam. Kutai Kartanegara merupakan satu contoh. Walaupun pemimpinnya di masa lalu sempat ditahan karena korupsi, berkat bahan tambang yang melimpah ruah, indeks pembangunan manusia tetap tinggi. Di daerah dengan sumber daya alam terbatas, atau sama sekali tak tersedia, korupsi segera akan terlihat dampaknya. Kemampuan daerah membuat terobosan, yang tentu memerlukan dana tak sedikit, akan sangat terbatas.
Yang menarik dari tujuh pemimpin pilihan ini, ada semacam kesamaan pandangan bahwa korupsi akan membuat pemimpin berjarak dengan masyarakatnya, dan akhirnya menyulitkan usaha menggalang dukungan rakyat. Para kepala daerah ini berkeyakinan bahwa hanya pemimpin bersih yang sanggup merebut hati rakyat untuk mendukung program kerja mereka.
Cerita Bupati Banjar Herman Sutrisno menjadi bukti. Pemimpin sebuah kabupaten di Jawa Barat ini tidak pernah membeli dukungan rakyat. Bupati yang juga dokter ini cukup bekerja keras memperbaiki tingkat kesehatan warga. Imbalan yang ia peroleh luar biasa: 94 persen rakyat Banjar memenangkannya untuk periode kedua.
Sikap antikorupsi saja tak cukup. Leadership kuat, yang diwujudkan dengan berani, sangat diperlukan untuk menangani beribu masalah di daerah. Sungguh beruntung, tujuh pemimpin pilihan ini mempunyai berbagai kelebihan. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, umpamanya, berani menolak pembangunan jalan tol yang membelah Kota Surabaya. Risma berkukuh menaikkan tarif papan reklame besar yang selama ini dianggapnya merusak keindahan kota, walaupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengancam mencopotnya.
Walikota Solo sukses merelokasi pedagang kaki lima dalam jumlah ribuan orang, sesuatu yang sulit dilakukan oleh pemda lain, kecuali menjadikan pedagang kaki lima itu sasaran penggusuran. Peluang besar yang ditangkap oleh Jakowi sapaan akrab Joko Widodo membuktikan bahwa kewenangan yang luas tidak identik dengan kesewenang-wenangan. Kesuksesan itu juga diikuti dengan makin meningkatkanya PAD Kota Solo.
Lain lagi di Kabupaten Purbalingga, Bupati Triyono Budi Sasongko, fokus pada pengentasan kemiskinan, dengan memugar 14.600 rumah tidak layak huni. Dana stimulan yang hanya Rp. 2 Juta mampu diberdayakan dengan mengundang partisipasi rakyat melalui swadaya, sehingga program ini sukses.
Ada contoh lain. Yusuf Wally, Bupati Keerom--sebuah kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini--berani meminta TNI mengurangi pasukan. Alasan Wally: ia tak ingin penduduk daerah rawan konflik itu terus-menerus menderita trauma lantaran “dikepung” pasukan dalam jumlah besar.
Kepemimpinan kuat ditunjukkan Wally ketika ia membuat kemeriahan di kantornya pada 1 Desember lalu, bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Organisasi Papua Merdeka. Ia mendukung OPM? Tidak. Dia justru berupaya mengalihkan perhatian rakyat Keerom agar tidak melulu berpikir soal kemerdekaan OPM.
Leadership kuat, keberanian dalam mengimplementasikan program, serta konsistensi, merupakan kunci sukses tujuh kepala daerah pilihan ini. Tapi pemilihan langsung tak selalu menghasilkan pemimpin dengan kualitas seperti pendahulunya.
Maka, tantangan terbesar bagi para leader itu akan datang setelah mereka tak lagi menjabat. Tantangan itu adalah menjamin kelangsungan program yang sudah berhasil memperbaiki wajah daerah, yang bisa dilakukan umpamanya dengan membuat peraturan daerah yang kokoh. Mereka juga bisa menghidupkan partisipasi masyarakat untuk menjaga keberlanjutan programnya.

Salah satu tujuan bernegara tentu hendak menggapai kesejahteraan, begitu pula bagi daerah otonomi, kewenangan yang luas mesti diikuti dengan makin meningkatkanya kesejahteraan rakyat. Bukan malah sebaliknya.
Maka dari itu kepemimpinan yang kuat hati untuk mensejahterakan rakyat hendaknya lahir dari pilihan langsung, sehingga kesan selama ini bahwa lima tahun masa kepemimpnan daerah hanya berkutat melulu sekedar rutinitas belaka. Tampa gebrakan inovasi dan kreasi yang berarti. Karena itu, jika hanya sekedar melaksanakan APBD dengan meng’copypaste’ program dan kegiatan tahun sebelumnya tentu saja anggaran daerah yang sangat terbatas itu tidak akan banyak merubah wajah daerah.
Kasus hukum yang banyak menimpa kepala daerah memiriskan, seharusnya jadi cermin bahwa dimasa depan daerah memerlukan pemimpin visioner, tidak pemimpin instan yang berpikir pendek. Pemimpin yang bersungguh-sungguh mengeluarkan rakyat dari kubangan kemiskinan, bukan pemimpin yang malah makin memiskin rakyat dengan perilaku yang menyimpang.